Jumat, 28 Desember 2018

Kisah Mereka yang Selamat dari Bencana Palu

Wasini
WASINI merasa bersyukur karena dirinya bisa selamat dari terjangan tsunami di Palu pada Jumat sore 28 September lalu. Saat itu, wanita asal Sukoharjo Kartasura ini sedang berjualan jamu di kawasan Pantai Talise. Begitu air bah menerjang, ia langsung mendekap sebuah pohon. Dengan tiada henti ia melafalkan asmaul husna. Air pun kadang menenggelamkannya. Namun kadang pula menghindari dirinya.

"Kalau tidak mendekap pohon, saya sudah hanyut dan pasti sudah meninggal," katanya kepada KR saat menyerahkan sumbangan ke dusunnya, beberapa waktu lalu. "Tapi anehnya, kok sekarang pohon yang saya dekap itu tidak ada. Masak pohonnya hanya ada saat itu saja?," katanya penuh tanya.

Namun motor beserta keronjot jamunya terlempar jauh entah ke mana. Karena motor hilang, malam itu Wasini pulang dengan jalan kaki sekitar 3 km ke rumahnya di Gang Kelapa Gading Kelurahan Kabobona Palu Barat. Beberapa hari kemudian, motornya bisa ditemukan dalam kondisi rusak. Joknya hilang. Kini, Wasini sudah kembali berjualan jamu lagi.

Beda lagi dengan Ahmad Zaenuri yang juga selamat dari tsunami. Saat itu warga Petobo Palu Selatan ini berada di dekat jembatan kuning usai apel personel Senkom Mitra Polri. Begitu air mulai datang, ia bergegas memanjat pohon akasia yang berada tak jauh dari jembatan kuning. Kebetulan air tidak begitu tinggi karena tertahan fondasi ujung jembatan, sehingga tidak menyentuhnya. "Jadi saya menyaksikan langsung dengan mata kepala bagaimana kondisi dan situasi saat air menerjang kawasan yang sedang banyak orang menyaksikan acara Palunomoni," akunya.

Ahmad Zaenuri bersama mobilnya yang selamat dari tsunami.

Namun mobil tak luput dari genangan air. Karenanya malam itu tidak bisa digunakan untuk pulang sehingga ditinggal begitu saja. Namun sehari kemudian saat ia mau mengambil mobil tersebut, sejumlah bagianmya sudah hilang. Antara lain aki, tape mobil dan kunci kontaknya. "Sekarang mobil bisa sampai sini karena ditarik," kata Zaenuri saat ditemui di halaman Masjid Miftahul Huda Petobo.


Nasib Syafruddin S Fatah, warga Sibalaya Selatan Kabupaten Sigi, juga sedang beruntung. Pria lanjut usia yang saat itu berada di dalam Masjid Ar-Rahman ini masih diselamatkan Allah. Ajaib, meski masjid hancur lebur, bahkan juga bergeser pindah tempat sekitar 200 meter, pria berusia sekitar 75 tahun ini tidak tertimpa benda-benda yang jatuh dari atap masjid. Hanya ada satu batang kayu yang sempat menyenggol bahunya, namun hanya membuatnya sedikit sakit. "Alhamdulillah saya masih dilindungi Allah SWT," kata pria yang tangannya tidak pernah lepas dari tasbihnya ini.

Safruddin S Fatah


Ketika ditanya apa yang dibaca saat terjadi bencana itu, Safruddin S Fatah mengaku begitu terjadi gempa ia langsung mengumandangkan Adzan berulang-ulang. Selain itu juga berdzikir. Saat manjing waktu Maghrib, dirinya juga langsung salat supaya kalau meninggal tidak mempunyai utang salat. "Selama berlangsung likuifaksi saya tetap berada di dekat tiang dalam masjid. Baru setelah kondisi aman, sekitar pukul sembilan, saya dicari dan setelah diketemukan oleh anak saya, langsung dibawa ke tempat pengungsian," paparnya.


Sedang sejumlah ibu-ibu yang kini tinggal di hunian sementara (huntara) Sibalaya mengaku saat terjadi likuifaksi dirinya berusaha menyelamatkan diri dengan cara naik hamparan aspal jalan yang sedang bergerak untuk pindah tempat. Namun untuk mencapai aspal tersebut tidak mudah, karena tanah sekitar rumah sudah merekah sehingga sering kejeblos. "Ada sekitar tiga puluh orang yang naik hamparan aspal jalan ini dan akhirnya selamat," kata Sudarmini, Marinda, Citra dan Nurhayati saat ditemui di depan huntara.

Anhar warga Petobo juga mengaku seperti naik perahu ketika dirinya beserta anak dan istri berdiri saja di depan rumah saat terjadi likuifaksi. Sedang rumahnya bergerak, bergeser pindah tempat yang cukup jauh, sampai sekitar 1 km. "Rasanya seperti naik perahu yang sedang berlayar. Sekitar satu jam baru berhenti," kata Anhar sambil menambahkan meski bergeser namun isi rumah tidak berubah. Masing-masing barang tetap berada di posisi semula.

Anhar dengan latar belakang wilayah yang terkena likuifaksi di Petobo.

Ketika ditanya kenapa ia beserta keluarga tetap berdiri saja di depan rumah dan tidak lari menyelamatkan diri, Anhar mengaku karena ada bayangan orang sepuh yang mendatanginya dan meminta untuk tetap diam saja dan baru boleh lari setelah tanah tidak bergerak. "Mereka yang jadi korban kebanyakan karena saat itu berlarian, sehingga tenggelam di lumpur dalam yang sedang bergerak sehingga terkubur hidup-hidup," katanya.


Anhar beserta anak istri baru pergi ke lokasi aman setelah tanah tidak bergerak lagi. Hanya untuk itu ia harus berjuang keras, karena jalan yang ia lalui banyak yang berupa lumpur atau rekahan tanah sedang istrinya yang gemuk beberapa kali terjerumus ke dalam lumpur cukup dalam, sehingga dengan susah payah harus dia tarik. "Padahal istri saya cukup gemuk, sehingga ketika terjerumus ke kubangan lumpur menariknya juga berat. Apalagi sempat terperosok dalam lumpur sampai leher. Namun alhamdulillah akhirnya saya beserta anak dan istri selamat," akunya sambil menambahkan bobot istrinya 95 kg.
Tentu saja masih banyak cerita lain terkait dengan mereka yang selamat dari bencana alam ini. (Luthfie)

Bencana di Palu Masih Menyisakan Misteri



Jembatan Kuning yang hancur lebur

BENCANA alam di Sulawesi Tengah (gempa, tsunami dan likuifaksi) hingga saat ini masih menyimpan banyak misteri. Sebab banyak hal yang terjadi yang jauh dari prediksi maupun di luar perkiraan akal manusia. Banyak pula kisah di balik peristiwa yang selama ini belum terungkap di media massa.

Sebagaimana diketahui, bencana ini yang terjadi Jumat (28/11) sore hingga malam ini menimpa 3 wilayah kabupaten/kota, yaitu Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala. Diawali dengan goncangan gempa 7,7 SR. Kemudian disusul dengan tsunami dan likuifaksi. Untuk gempa, wilayah yang terdampak baik di Palu, Sigi, maupun Donggala. Sedang kawasan terparah di Sigi. Kemudian tsunami menerjang kawasan pantai Palu. Sedang likuifaksi terjadi di empat wilayah, yaitu di Balaroa Kecamatan Palu Barat Kota Palu dan Petobo Kecamatan Palu Selatan Kota Palu serta di Jono Oge Kecamatan Biromaru Kabupaten Sigi dan di Sibalaya Selatan Kecamatan Tanambulava Sigi. Keempat wilayah tersebut saling berjauhan. Disamping itu ada sejumlah titik yang mengalami tanah ambles, misalnya yang menimpa Hotel Roa-roa di Palu dan di kampung nelayan Tompe Kecamatan Sirenja Donggala.

Wilayah yang paling parah terdampak tsunami adalah kawasan Pantai Talise, atau sekitar jembatan kuning, dan sejumlah pantai di sepanjang teluk tersebut. Seluruh bangunan di pinggir pantai Talise habis. Air masuk daratan hingga sekitar 200 meter. Bangunan yang rusak antara lain Hotel Mercure, Palu Grand Mall, kampus STAIN Palu, sejumlah instansi, serta jembatan menuju masjid apung, sehingga sekarang masjid tersebut benar-benar terapung di laut.

Kondisi kawasan Pantai Talise usai tsunami


"Di sini dulu banyak kafe remang-remang, sekarang sudah bersih. Sedang di sebelah sana dulu kamar-kamar penginapan. Biasa digunakan untuk short time. Kalau mau menginap, mobil bisa langsung masuk garasi, setelah itu ditutup dan aman," kata Agus Effendi, warga Palu sambil mengisahkan pernah ada seorang kepala dinas dan sekretarisnya ketahuan siang-siang masuk penginapan tersebut.


Namun tidak semua pantai terkena terjangan air tsunami. Dari jembatan kuning ke arah kanan memang banyak bangunan rusak. Pemandangan dari jalan yang selama ini tertutup bangunan, kini tanpa halangan langsung terlihat laut, karena bangunan sudah hancur. Namun setelah itu selang-seling, ada kawasan yang aman dari tsunami, selanjutnya ada juga yang rusak parah. Untuk kawasan yang aman dari terjangan air antara lain kompleks perumahan elite yang salah satu pemiliknya artis ibukota yang kini menjadi Wakil Walikota Palu, Sigit Purnomo Said atau Pasha Ungu. Padahal bagian belakang kompleks perumahan ini laut, bahkan konon ada dermaga yang dimiliki salah satu penghuninya.

"Rumah saya di sana memang tidak terkena tsunami, tapi retak-retak," kata Pasha kepada KR. Orang nomor dua di Kota Palu ini mengaku rumahnya di sana disewakan. Sedang dirinya tinggal di rujab (rumah jabatan) tak jauh dari Balaikota. "Saya tinggal di rujab situ," tambahnya.


Penulis bersama Walikota Palu Hidayat dan Wakilnya, Sigit Purnomo Said atau Pasha Ungu.

Namun setelah kompleks perumahan elite tersebut, pemandangan kembali terlihat suasana porak poranda di wilayah Mamboro sampai Pantoloan. Di sana banyak gudang dan bangunan lain hancur, termasuk di antaranya sebuah masjid yang kini tinggal menaranya, dan bekas masjid sekarang diberi atap sementara untuk tempat ibadah darurat. Sejumlah puing-puing mobil ringsek juga masih dibiarkan teronggok.


Sedang untuk di Kota Palu, yang tak jauh dari Pantai Talise, tidak semua bangunan rusak. Dalam satu wilayah ada satu atau beberapa bangunan rusak, tetapi banyak pula yang masah tegak berdiri. Ada ruko nyaris roboh, tapi bangunan di sekitarnya aman-aman saja. Ada juga rumah makan yang ndeprok, tapi kanan kirinya tidak ada kerusakan. Bahkan ada sebuah mall besar dan bertingkat yang rusak berat sehingga harus dirobohkan, tetapi di belakangnya ada pasar tradisional yang tidak mengalami kerusakan  bahkan tetap digunakan untuk berdagang. Begitu juga pemukiman sekitarnya tidak apa-apa. Bangunan sekitar Hotel Roa-roa tetap kokoh berdiri, meski sejumlah dindingnya kaca. Padahal hotel bertingkat 7 itu ambles dua lantai, sehingga kemungkinan masih ada korban yang belum terevakuasi.

Namun di Kabupaten Sigi banyak kerusakan bangunan akibat gempa, termasuk kantor Bupati dan DPRD. Selain bangunan roboh, banyak pula bangunan yang miring tak karuan atau lantainya menyembul. Karena tanah di kawasan tersebut memang jadi bergelombang dan banyak terjadi pergeseran. Jalan beraspal yang semula mulus dan lurus, kini jadi bergelombang naik turun dan belak-belok. Ada juga SPBU yang seluruh lantainya menyembul tinggi, ataupun ambles dengan retakan besar, sehingga tempat pengisian bahan bakar tersebut tidak berfungsi sama sekali.

Setelah jalan bergelombang dan zig-zag, ujungnya putus karena terkena likuifaksi di Jono Oge Kecamatan Biromaru. Karena itu setelah ujung jalan, tiba-tiba di bawahnya berupa hamparan sawah yang sebelumnya di kanan-kiri jalan berupa pemukiman dan warung-warung. Sedang bagian aspal jalan sambungannya sudah pindah jauh.

Andi Dahlan, salah satu pemilik sawah mengaku tidak menyangka bisa jadi seperti ini. Hamparan padinya seluas dua hektare yang siap dipanen sudah hilang entah ke mana. Sedang di atas bekas lahannya sekarang berdiri tujuh batang pohon kelapa dan tanaman jagung.

Andi Dahlan menunjukkan di bekas lahan sawahnya yang kini terdapat pohon kelapa.

"Sebenarnya saya sudah siap memanen. Mobil yang akan untuk mengangkut panenannya juga sudah saya siapkan. Namun malam itu lahan sudah berubah. Tidak ada hamparan tanaman padi lagi," kata Andi Dahlan sambil menambahkan "saya tidak tahu kesembilan pohon kelapa itu milik siapa kok tiba-tiba ada di atas lahan milik saya. Juga tanaman jagung itu," tambahnya sambil menunjukkan bekas lahan sawahnya.

Dampak likuifaksi di Jono Oge memang luar biasa. Kawasan tersebut jadi berubah total. Semula yang ada di atas tanah bergeser pindah tempat sampai 2 km lebih. Di antaranya adalah sebuah gereja yang pindah jauh dari lokasi semula, meski kondisinya rusak . Banyak juga bangunan dan orang yang ambles ditelan bumi. 'Di sebelah sana dulu ada sekolahan dan ratusan anak sedang berkegiatan. Sekarang sudah hilang. Banyak juga siswanya yang tidak diketemukan, " kata Dahlan.

Sedang di wilayah yang tidak terkena likuifaksi, misalnya di Desa Kabobona Kecamatan Dolo Sigi, ada sejumlah rumah yang selain rusak karena gempa juga kemasukan lumpur kiriman dari daerah yang terkena likuifaksi. "Tinggi lumpur di rumah saya sampai dua meter," kata Hendro, salah satu warga. Sedang di saluran air sejumlah mayat hanyut. Karena itu masyarakat sekitar harus kerja keras membersihkan lumpur yang masuk dalam rumah maupun sekitar pekarangan.

Kondisi Masjid Ar-Rahman setelah berpindah tempat.

Begitu juga likuifaksi di Sibalaya Selatan Kecamatan Tanambulava Kabupaten Sigi yang jaraknya sekitar 10 km. Di sini Masjid Ar-Rahman yang semula berada di pinggir jalan, pindah sekitar 200 meter, termasuk pagar dan papan namanya. Itupun dalam kondisi hancur. Kemudian lapangan sepakbola yang semula di timur jalan, bergeser ke utara di barat jalan. Itupun sudah tidak rata karena tanahnya diaduk-aduk oleh likuifaksi. "Itu bekas tribunnya yang sudah rusak," jelas Susilo, warga setempat.

Kondisi serupa juga terlihat di lokasi likuifaksi di Petobo Palu Selatan, sekitar 2 km dari Jono Oge Sigi. Jalan beraspal juga tiba-tiba putus dan di bawahnya berupa rekahan-rekahan tanah serta ada bagian rumah yang masih terlihat. Di sini terlihat tanah ambles yang cukup dalam. Di salah satu sisi ada kompleks Islamic Center yang bangunannya rusak parah, sedang masjidnya yang juga rusak sudah berpindah tempat cukup jauh. "Itu yang dulu tanahnya seperti diblender. Orang yang di situ ada yang langsung tersedot masuk tanah," kata Sudiarto, warga Petobo. "Namun ada juga yang teriak la ilaha illa Allah langsung terpental ke atas dan selamat," tambahnya.

Lokasi likuifaksi di Balaroa Palu juga hampir sama. Wilayah yang berada sekitar 2 km dari Pantai Talise ini ambles. Banyak rumah dan isinya yang ditelan bumi. Sedang kawasan yang tidak terkena likuifaksi kini lebih tinggi sekitar 5 meter. Karena itu rumah-rumah dan sebuah masjid yang masih berdiri di pinggirnya terancam longsor ke wilayah yang kena likuifaksi. Jalan aspal yang sebelumnya mulus dan lurus juga terputus.

Kini keempat kawasan likuifaksi (Balaroa dan Petobo Palu serta Jono Oge dan Sibayala Selatan Sigi) kini jadi objek wisata tiban. Tiap hari banyak orang berdatangan sekadar untuk mengetahui kondisi yang ada. Mereka terdiri warga Palu sendiri maupun dari daerah lain. "Saya yang warga Petobo saja tidak tahu kok kalau malam itu terjadi likuifaksi. Tahunya sehari kemudian," kata Agus Effendi. Ada juga warga di batas akhir likuifaksi yang keesokan harinya kaget karena belakang rumahnya yang semula datar sudah jadi bukit.
Semua itu memang di luar perkiraan manusia. (Luthfie)

Selasa, 04 Desember 2018

Aksi Kemanusiaan KR

Menyerahkan satu unit genset untuk warga Pandak Bantul.


Menyerahkan bantuan untuk renovasi MI YAPPI Banyusoca Playen Gunungkidul.

Bersama Rektor UNY Prof. Dr. Sutrisna Wibawa


Di sela makan siang di Jalan Monjali.