Wasini
WASINI merasa bersyukur karena dirinya bisa selamat dari terjangan tsunami di Palu pada Jumat sore 28 September lalu. Saat itu, wanita asal Sukoharjo Kartasura ini sedang berjualan jamu di kawasan Pantai Talise. Begitu air bah menerjang, ia langsung mendekap sebuah pohon. Dengan tiada henti ia melafalkan asmaul husna. Air pun kadang menenggelamkannya. Namun kadang pula menghindari dirinya. "Kalau tidak mendekap pohon, saya sudah hanyut dan pasti sudah meninggal," katanya kepada KR saat menyerahkan sumbangan ke dusunnya, beberapa waktu lalu. "Tapi anehnya, kok sekarang pohon yang saya dekap itu tidak ada. Masak pohonnya hanya ada saat itu saja?," katanya penuh tanya.
Namun motor beserta keronjot jamunya terlempar jauh entah ke mana. Karena motor hilang, malam itu Wasini pulang dengan jalan kaki sekitar 3 km ke rumahnya di Gang Kelapa Gading Kelurahan Kabobona Palu Barat. Beberapa hari kemudian, motornya bisa ditemukan dalam kondisi rusak. Joknya hilang. Kini, Wasini sudah kembali berjualan jamu lagi.
Beda lagi dengan Ahmad Zaenuri yang juga selamat dari tsunami. Saat itu warga Petobo Palu Selatan ini berada di dekat jembatan kuning usai apel personel Senkom Mitra Polri. Begitu air mulai datang, ia bergegas memanjat pohon akasia yang berada tak jauh dari jembatan kuning. Kebetulan air tidak begitu tinggi karena tertahan fondasi ujung jembatan, sehingga tidak menyentuhnya. "Jadi saya menyaksikan langsung dengan mata kepala bagaimana kondisi dan situasi saat air menerjang kawasan yang sedang banyak orang menyaksikan acara Palunomoni," akunya.
Ahmad Zaenuri bersama mobilnya yang selamat dari tsunami.
Namun mobil tak luput dari genangan air. Karenanya malam itu tidak bisa digunakan untuk pulang sehingga ditinggal begitu saja. Namun sehari kemudian saat ia mau mengambil mobil tersebut, sejumlah bagianmya sudah hilang. Antara lain aki, tape mobil dan kunci kontaknya. "Sekarang mobil bisa sampai sini karena ditarik," kata Zaenuri saat ditemui di halaman Masjid Miftahul Huda Petobo.
Nasib Syafruddin S Fatah, warga Sibalaya Selatan Kabupaten Sigi, juga sedang beruntung. Pria lanjut usia yang saat itu berada di dalam Masjid Ar-Rahman ini masih diselamatkan Allah. Ajaib, meski masjid hancur lebur, bahkan juga bergeser pindah tempat sekitar 200 meter, pria berusia sekitar 75 tahun ini tidak tertimpa benda-benda yang jatuh dari atap masjid. Hanya ada satu batang kayu yang sempat menyenggol bahunya, namun hanya membuatnya sedikit sakit. "Alhamdulillah saya masih dilindungi Allah SWT," kata pria yang tangannya tidak pernah lepas dari tasbihnya ini.
Safruddin S Fatah
Ketika ditanya apa yang dibaca saat terjadi bencana itu, Safruddin S Fatah mengaku begitu terjadi gempa ia langsung mengumandangkan Adzan berulang-ulang. Selain itu juga berdzikir. Saat manjing waktu Maghrib, dirinya juga langsung salat supaya kalau meninggal tidak mempunyai utang salat. "Selama berlangsung likuifaksi saya tetap berada di dekat tiang dalam masjid. Baru setelah kondisi aman, sekitar pukul sembilan, saya dicari dan setelah diketemukan oleh anak saya, langsung dibawa ke tempat pengungsian," paparnya.
Sedang sejumlah ibu-ibu yang kini tinggal di hunian sementara (huntara) Sibalaya mengaku saat terjadi likuifaksi dirinya berusaha menyelamatkan diri dengan cara naik hamparan aspal jalan yang sedang bergerak untuk pindah tempat. Namun untuk mencapai aspal tersebut tidak mudah, karena tanah sekitar rumah sudah merekah sehingga sering kejeblos. "Ada sekitar tiga puluh orang yang naik hamparan aspal jalan ini dan akhirnya selamat," kata Sudarmini, Marinda, Citra dan Nurhayati saat ditemui di depan huntara.
Anhar warga Petobo juga mengaku seperti naik perahu ketika dirinya beserta anak dan istri berdiri saja di depan rumah saat terjadi likuifaksi. Sedang rumahnya bergerak, bergeser pindah tempat yang cukup jauh, sampai sekitar 1 km. "Rasanya seperti naik perahu yang sedang berlayar. Sekitar satu jam baru berhenti," kata Anhar sambil menambahkan meski bergeser namun isi rumah tidak berubah. Masing-masing barang tetap berada di posisi semula.
Anhar dengan latar belakang wilayah yang terkena likuifaksi di Petobo.
Ketika ditanya kenapa ia beserta keluarga tetap berdiri saja di depan rumah dan tidak lari menyelamatkan diri, Anhar mengaku karena ada bayangan orang sepuh yang mendatanginya dan meminta untuk tetap diam saja dan baru boleh lari setelah tanah tidak bergerak. "Mereka yang jadi korban kebanyakan karena saat itu berlarian, sehingga tenggelam di lumpur dalam yang sedang bergerak sehingga terkubur hidup-hidup," katanya.
Anhar beserta anak istri baru pergi ke lokasi aman setelah tanah tidak bergerak lagi. Hanya untuk itu ia harus berjuang keras, karena jalan yang ia lalui banyak yang berupa lumpur atau rekahan tanah sedang istrinya yang gemuk beberapa kali terjerumus ke dalam lumpur cukup dalam, sehingga dengan susah payah harus dia tarik. "Padahal istri saya cukup gemuk, sehingga ketika terjerumus ke kubangan lumpur menariknya juga berat. Apalagi sempat terperosok dalam lumpur sampai leher. Namun alhamdulillah akhirnya saya beserta anak dan istri selamat," akunya sambil menambahkan bobot istrinya 95 kg.
Tentu saja masih banyak cerita lain terkait dengan mereka yang selamat dari bencana alam ini. (Luthfie)





















